Pertaruhan Masa Depan Pertanian Indonesia?

,

Bagaimana Nasib Petani di Masa Depan?

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana masa depan pertanian Indonesia 25 tahun yang akan datang? Bagaimana jika tahun 2050 tidak ada lagi petani di Indonesia? Sudahkah kita siap jika tubuh kita dipenuhi dengan makanan sintetis karena mahalnya sayuran dan buah organik akibat kelangkaan pangan?

Kalau tidak ada petani, lalu siapa yang akan menyediakan pangan buat kita di masa depan? Kalau petani penting, kenapa profesi petani terancam hilang? Akankah nasib masa depan pertanian kita dipertaruhkan saat ini?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri, memangnya Anda mau jadi petani di zaman now? Jika memang saat ini pekerjaan Anda bukan petani, memangnya Anda rela meninggalkan pekerjaan tersebut demi jadi petani?

Mungkin kita semua memiliki pemikiran yang sama ya, ternyata tidak mudah loh jadi seorang petani di Indonesia.

Menjadi petani justru masalah atau menjadi peluang?

Di balik musibah pasti ada hikmah, begitu pula dengan ancaman terhadap kelangkaan pangan di masa depan membuat pangan menjadi emas berharga yang akan diperebutkan setiap negara. Seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno bahwa hidup dan matinya suatu negara ditentukan oleh kedaulatan pangannya. Maka dari itu mungkin dapat kita prediksi, jika kita tidak memiliki petani lagi maka Ibarat melakoni salah satu peserta Hunger Games layaknya di film box office dimana orang-orang akan saling berebut mencari makanan demi mempertahankan hidupnya. Sudah siapkah Anda jadi Katniss Everden selanjutnya?

Tahukah Anda?

Saat ini jumlah petani di Indonesia berjumlah 29,3 juta orang berdasarkan Sensus Tani Tahun 2023. Ternyata jumlah tersebut turun 7,45% dari periode sebelumnya (ST 2013). Fakta yang mengejutkan yaitu rasio petani muda yang berumur di bawah 40 tahun hanya 21,93% saja sementara sisanya masih di dominasi oleh generasi tua. World Economic Forum pernah memberikan peringatan jika pada tahun 2050 populasi penduduk dunia mencapai 9,7 Milyar orang dan kebutuhan akan pangan saat itu 70% lebih banyak dibandingkan saat ini. Ironisnya permintaan terhadap pangan tersebut tidak diiringi dengan penambahan penyedia pangan yaitu petani.

Jadi penasaran apa ya penyebab banyaknya generasi muda yang tidak mau jadi petani?

Hal utama dari sebuah pekerjaan adalah berapa besar penghasilan yang akan didapatkan dari profesi tersebut. Saat ini pendapatan rata-rata petani local sebesar 5,23 juta rupiah per tahun dan nominal tersebut jauh di bawah rata-rata Upah Minimum Regional (UMR). Wajar saja jika akhirnya banyak orang tua yang menginginkan anaknya bekerja di sektor lain dibandingkan menjadi petani.

Kecilnya pendapatan tersebut tidak diimbangi dengan beban kerja yang mereka lakukan di lapangan. Bertani itu bukan sekedar menanam, menyiram dan memanen tetapi juga perlu memperhatikan berbagai macam aspek dari mulai masalah sosial, lingkungan dan bahkan aspek ekonomi.

Wah ternyata cukup kompleks ya hal yang dihadapi oleh petani. Maka dari itu tidak heran jika para petani itu sendiri berharap jika anaknya justru tidak bernasib serupa dengan mereka.

Di sisi lain, kita dapat melihat sisi positif jika permintaan yang makin meningkat tetapi produksi yang terbatas maka masa depan pertanian kita akan lebih dihargai. Daya tawar petani lokal kita pun akan lebih tinggi dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Setiap orang akan mencari SDM yang mampu memproduksi pangan alami ya tentunya dari hasil pertanian. Belum lagi semakin berkembangnya teknologi baik itu berbasis Internet of Things (IoT) maupun Artificial Intelligence (AI) yang mempermudah operasional pertanian tentu menjadi angin segar untuk masa pertanian kita.

Jadi maukah Anda menjadi bagian dari masa depan pertanian Indonesia?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *